Paradoks Demokrasi
Oleh Mohammad Farid Fad*
Perhelatan kontestasi Pilkada serentak 2018 telah usai. Hasil rekapitaulasi versi quickcount telah lama dirilis, sementara hasil realcount versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang dalam tahapan proses verifikasi. Ucapan selamat bekerja dan berkarya layak disematkan bagi kandididat pemimpin daerah yang terhitung unggul. Dikarenakan setelah melalui proses persalinan demokrasi yang kondusif, merekalah yang dipercaya menggenggam harapan publik. Terbilang muskil bila dinyatakan “menang” lalu bersikap jemawa, sebab kuasai publik bukan untuk dibangga-banggakan, tetapi agar dipertanggungjawabkan. Sedangkan bagi pasangan calon yang diprediksi kalah, terhitung arif jika bersikap legowo, sebab meerka bukanlah sekelas pecundang, sebaliknya mereka adalah pahlawan demokrasi. Disebabkan sesungguhnya tak akan ada pemenang sejati dalam demokrasi tanpa kompetitor. Jelas bukan pilihan bijak bila melakukan diving-diving politik dengan mencari-cari kambing hitam dan terus menerus mengingkari realitas politik.
Diceritakan, ketika terpilih sebagai pemimpin (Khalifah) pengganti Rasulullah, di atas podium, Abu Bakar berpidato, bahwa sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhakan kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku (Jalaluddin as –Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Kutub al-Islamiyah, hlm. 62-63).
Demikianlah, kekuasaan butuh kendali. Control sosial sangat diperlukan, sebab perangai kekuasaan sangat membuai dan mempesona (facsinosum) bagi pemegangnya. Bagaimana tidak, yang kuasa serta merta menikmati pujian dan decak kagum dari pemujanya. Magnet kekuasaan menumbuhkan eksplosi tumbuhnya nafsu eksesif yang menuntut agar ia selalu dipertahankan, bahkan dengan cara apapun. Algoritma kekuasaan memiliki daya lenting yang akan meninabobokkan sang pemegang kuasa. Watak kekuasaan justru menyembunyikan fakta pahit bahwa ia sesungguhnya hanya mencintai dirinya sendiri. Untuk itu, kekuasaan membutuhkan control, sebab tanpa rantai kekangan ia akan terjebak pada jebakan otoritarianisme tanpa batas.
Segala godaan kekuasaan harus dimaknai sebagai tantangan dan sumber motivasi agar jangan sampai menggadaikan legitimasi sosial yang begitu sacral karena dipicu sejumput hasrat sesaat, apalagi hanya demi “mengelola” tender proyek. Terbilang lancing bila kepercayaan khalayak disia-siakan percuma demi memenuhi nafsu serakahnya. Pelajaran berharga dari kisa di atas, karakteristik pemimpin tak boleh alergi terhadap masukan dan kritik. Tapi tentu saja apa yang sifatnya konstruktif, bukan sebaliknya, yang berbentuk cemoohan, cercaan, apalagi fitnah.janji-janji kampanye bukan sekadar mantra penghipnotis massa pemilih, melainkan garansi politik yang harus ditunaikan. Menjadi tak lazim bila yang terucap dan dijanjikan dengan kenyataan terjadi ketidaksinkronan.
Arah politik penguasa harus selaras dengan denyut terlemah dari nadi kehidupan masyarakat. Artinya, pemimpin harus menjadi katalisator sekaligus dinamisator angin perubahan yang pro-rakyat. Tak cukup itu, resonansi kepemimpinan harus merefleksikan rasa pertanggungjawaban (public accountability) dalam tiap kebijakannya. Pemimpin merupakan tumpuan utama harapan publik. Ibarat dalam rangkaian gerbong, ia adalah ur kemudi yang menentukan ke mana kiblat perubahan sosial diarahkan. Ia menjadi kompas penuntun masyarakatnya dalam meraih kesejahteraan hidupnya.
Selain itu, ia juga dikenal sebagai perlambang pelayan publik, mendermakan hidupnya untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya, malah jadi kongos hasra-hasrat sesaat. Tentu akan berbuah kemuliaan bila penguasa mendonorkan hajat pribadi dan golongannya demi kepentingan masyarakatnya. Di sinilah letak seni mengiliminasi anasir-anasir motif individu, untuk kemudian diekstraksi berdasarkan kemaslahatannya rakyat (tasharraf al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah).
Ingatlah, narasi kekuasaan bukan dituliskan dalam lembaran cek kosong yang bisa diungkapkan kapan saja, melainkan ditungkan dalam kanvas suci yang di dalamnya berisi kontrak sosial. Konfigurasi kekuasaan dibentuk demi tujuan mulia, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi segenap rakyat. Oleh karena itu, meraih kuasa harus diawlai dengan niatan suci sebagai sarana lahan pengabdian, sebab tatkala kekuasaan menjadi destinasi final, maka itulah penanda awal dari kiamat sosial.
Pilkada jangan diartikan sebagai fragmen kilamks dari sebuah sebuah drama politik, melainkan hanya babak awal lahan pengabdian dalam panggung Republik. Syahdan, saat Umat Ibn Abdul Aziz terpilih menggantikan khalifah sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malik), seluruh hadirin pun menyetujuainya. Tapi ia justru menangis, bahkan terdengar seloroh innalillahi wa inna ilaihi raji’un dari mulutnya karena pembaiatan tersebut (Abu Ja’far Ib Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari: Tarikh al-Umam wal Muluk, jilid IV, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 60). Disebabkan ia meyakini bahwa pada hakikatnya kekuasaan bukanlah kiblatnya kehidupan, melainkan hanya medan ujian cobaan, sekaligus amanah bagi hamba-Nya yang terpilih agar menesjahterakan rakyatnya hingga tercapai kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah, bonnum commune). Wallahu a’lam.
* Mohammad Farid Fad, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin, Kendal, dan pengurus Pergunu Wilayah Jawa Tengah (2017-2022).
Pernah di muat di Harian Tribun Jateng 11 Juli 2018