Sugeng Ambal Warsa Abah Yai Asep

Rabu,16 juli 2021 Beliau Pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Amanatul Ummah, Prof. Dr KH Asep Saifuddin Chalim, M.Ag. Genap berusia 66 tahun

Rabu,16 juli 2021
Beliau Pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Amanatul Ummah, Prof. Dr KH Asep Saifuddin Chalim, M.Ag. Genap berusia 66 tahun

Suatu ketika Imam Al Ghazali bertutur: Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya, dialah  orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari memberi cahaya orang lain sedang ia sendiri bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain ia pun tetap harum.

 

Begitulah Al Ghazali melukiskan orang-orang yang bekerja sebagai ustadz alias guru, mengamalkan ilmunya dengan penuh kesungguhan. Kata guru sendiri dalam bahasa Indonesia tidak dapat diterjemahkan begitu saja sama seperti dalam bahasa Inggris yakni teacher. Guru memiliki arti lebih luas dibanding teacher. Menurut Wikipedia, dalam bahasa Sansakerta seorang guru juga orang ahli, sahabat saga, konselor, pendamping, dan juga pemimpin spiritual.

 

Kata guru kemudian diadopsi kedalam bahasa Hindi, Marthi, Bengali, Gujarati, dan banyak bahasa lainnya termasuk bahasa Indonesia. Sebagai kata sifat guru berarti berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan spiritual. Entimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan suatu metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Suku kata gu berarti kegelapan dan ru berarti terang. Jadi guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran.

 

Pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Amanatul Ummah, Prof. Dr KH Asep Saifuddin Chalim, M.Ag., menuturkan, dirinya pernah mencoba untuk bekerja di bidang lain. Semasa masih muda, beliau pernah mencoba berbisnis perikanan, mengelola tambak dan kolam, tetapi gagal. Kali lain, mencoba bisnis barang antik, namun juga tak berkembang. “Pada akhirnya dunia pendidikanlah dunia saya,” kata Pak Kiai.

 

Terlahir dari keluarga NU tulen, Kiai Asep memang bernasab guru alias ustadz, bahkan gurunya ustadz alias kiai. Ayahandanya, KH Abdul Chalim dari Majalengka, Jawa Barat, adalah kiai pejuang nasionalis yang bersama ulama terkemuka seperti KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama. Namun sejak kecil, si kecil Asep telah terbiasa mandiri. Sejak lulus SD dan dipondokkan di Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, dan berlanjut hingga meraih gelar doktor, dan pada akhir Februari 2020 ini dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) Sosiologi, semua diraih dengan kerja keras.

 

Pergumulan keras dengan dunia pendidikan menjadikan Kiai Asep mematok impian yang tinggi dari warga pondok pesantren yang berhasil dikembangkan. Kepada lebih dari 700 guru/ustadz di pondoknya, beliau tak bosan-bosannya menyampaikan pesannya: ”Jadilah guru yang baik, atau tidak sama sekali.”

 

“Guru harus punya prinsip bahwa Amanatul Ummah sekolah terbaik karena dia adalah gurunya. Oleh karena itu, anaknya harus bersekolah di sekolah terbaik. Kalau guru tidak punya keyakinan demikian, ya berarti dia tidak yakin kalau Amanatul Ummah terbaik. Konsekuensinya, ya dia harus keluar dari Amanatul Ummah,” tutur Kiai Asep.

 

Ponpes Amanatul Ummah, yang kini mendidik lebih dari 10.000 santri, termasuk para mahasiswa Institut KH Abdul Chalim (IKHAC), secara tertulis dan terbuka mencantumkan cita-citanya, yang juga lain daripada yang lain.

 

Menurut Kiai Asep, para lulusan pondok modern ini dirancang akan menjadi (1) ulama besar yang akan bisa menerangi Indonesia dan dunia; (2) menjadi para pemimpin bangsanya juga pemimpin dunia yang akan mengupayakan terwujudnya kesejahteraan dan tegaknya keadilan; (3) menjadi konglomerat besar yang akan memberikan kontribusi maksimal bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa Indonesia; dan (4) menjadi ilmuwan dan para profesional yang berkualitas, ber-akhlaqul karimah dan bertanggungjawab.

 

Sang Kiai merasa sedih melihat warga negeri ini, sebagian besar Muslim, masih terpinggirkan. Baik secara sosial, ekonomi, maupun intelektual. Seolah mereka bukan pemilik negeri ini.

 

“Amanatul Ummah, juga Institut KH Abdul Chalim, harus berada di depan. Kami ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat kebangkitan kembali peradaban Islam  yang mampu menerangi dunia,” kata Sang Kiai pula.

Perjuangan beliau sangat tidak mudah, walaupun nasabnya berasal dari Kiai Pendiri NU Kiai Chalim, Majalengka, namun Prof. KH. Asep Saifuddin Chalim berjuang dari nol. Mulai mendirikan pesantren hingga Institut dan sebentr lagi menyusul International University. Kesusahan dan kesengsaraan (baca: prihatin) yg dialaminya waktu kecil dan cita-cita besar ayahandanya yg ingin memiliki pesantren kini telah diwujudkan oleh Putranya Prof. KH. Asep Saifuddin Chalim.

Kisah ini sangat menginspirasi. Inilah sosok idola yang seharusnya diteladani oleh kawula muda. Prinsip beliau paling tidak sama “plek” dengan Bung Karno, “Indonesia harus berdikari dikaki sendiri”.

Mohamad Faojin, M.Ag., M.Pd.

Kami Persatuan Guru Nahdlatul Ulama` Jawa Tengah Mengucapkan ” Sugeng Ambal Warsa Abah Yai Asep, semoga Allah Swt senantiasa memberikan kesehatan, kemudahan dan keberkahan khususnya kepada abah yai asep dan umumnya kepada Pergunu Jawa Tengah, dan Pergunu di seluruh indonesia”

Sebagaimana diucapkan secara terpisah oleh Ketua PW Pergunu Jawa Tengah

Mohamad Faojin, M.Ag., M.Pd.
Ketua Pergunu Wilayah Jawa Tengah

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *