SITI HAJAR AS : INSPIRATOR BAGI KAUM MUSLIMAH

Oleh : Muhammad Umar Said (Ketua PC Pergunu Kendal Jawa Tengah)

Setiap merayakan Hari Raya Iedul Adha, yang sering kita dengar tentu kisah Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar as. Namun, yang membahas tentang kisah Siti Hajar as secara spesifik belum begitu banyak. Oleh karena itu, melalui artikel ini penulis ingin menjelaskan tentang sepak terjang perjuangan dan pengorbanan Siti Hajar as sebagai isteri Nabi Ibrahim as yang namanya dikenang sepanjang masa. Semoga kisah ini menginspirasi bagi kaum muslimah untuk bisa mengambil teladan sebagai seorang isteri dari seorang suami dan ibu dari seorang anak.

Lalu siapakah sebenarnya Siti Hajar as itu ?

Di dalam buku “Misteri Ka’bah”, buku terjemahan dari The Ka’bah yang diterbitkan penerbit Zaman, dijelaskan, Siti Hajar as adalah istri kedua Ibrahim as setelah Sarah as. Siti Hajar adalah budak dari Sarah as. Sarah as memberikannya untuk dinikahi suaminya Ibrahim as disebabkan Sarah as tidak bisa mempunyai anak karena sudah terlalu tua. Dan Allah merahmati mereka dengan seorang anak dari Siti Hajar as yang dinamakan Ismail as, dan di kemudian hari Ismail as dijadikan Allah sebagai seorang nabi.

Alkisah, pada suatu hari Ibrahim as menerima perintah dari Allah swt. bahwa dia harus membawa Siti Hajar as (istrinya) dan Ismail as yang baru lahir, ke suatu gurun pasir yang tandus dan gersang, yang sekarang ini kita kenal sebagai kota Mekkah.

Pada waktu itu tidak ada apa pun dan siapa pun di sana, gurun itu benar-benar kosong. Setelah Ibrahim as membawa Siti Hajar as dan Ismail as, seketika itu pula Ibrahim as diperintahkan untuk meninggalkan mereka berdua di sana.

Jadi Ibrahim as berjalan ke tempat itu, sedangkan Siti Hajar as tidak tahu apa-apa, apa tujuan Ibrahim as membawa mereka berdua ke tempat itu. Ibrahim as hanya meyakini, bahwa Siti Hajar as dan anaknya Ismail as akan melakukan perjalanan dan akan kembali ke rumah.

Saat pertama kali dibawa Ibrahim as. dari Kan’aan menuju lembah yang gersang, sungguh, Siti hajar as penuh dengan ketakutan. Pasalnya, suku Amaliqah yang suka berkemah saja, setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah lagi ingin mengunjungi lembah tersebut lantaran susah mendapatkan air dan makanan ternak.

Saat tiba di lembah tersebut tampak sekali kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan Siti Hajar as, dan Nabi Ibrahim as. sangat memahaminya. Dengan suara yang lembut Nabi Ibrahim as. bertutur, “Janganlah takut Bunda Ismail. Saat ini kau berdiri di tanah Allah yang diberkati. Yakinlah kepada Allah.” Setelah sehari semalam Ibrahim as menemani Siti Hajar dan Ismail, Ibrahim as pun pamit ingin pulang ke negerinya, Kan’aan. Usai bersiap, ia memandangi wajah Siti Hajar lalu berkata, “Aku akan meninggalkan kamu beserta putramu dalam pengawasan Allah. Aku berharap bisa kembali lagi secepatnya ke sini, Insya Allah!”

Setelah terjadi dialog, akhirnya Siti Hajar as memahami apa yang dilakukan Nabi Ibrahim as adalah perintah Allah, maka ia menerimanya dengan penuh keikhlasan dan keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Dengan nada tegas Siti Hajar as mengatakan saat Ibrahim as. ingin menaiki kendaraannya, “Jika memang begitu perintah-Nya, aku yakin Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Setelah kepergian Nabi Ibrahim as, Siti Hajar as mulai memasuki kehidupan yang berbeda, yang hanya ditemani oleh putranya Ismail as. Keesokan paginya, Siti Hajar as terbangun karena tangis keras bayinya, Ismail as. Hajar pun mulai panik dan bingung karena bayinya sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil kantong air, namun ternyata isinya sudah habis. Ia pun mulai mencari ke-sekeliling tempatnya bermukim. Dia pergi menuju bukit Shafa berharap ada sekelompok kafilah di sana, namun ternyata tidak ada.

Tiba-tiba dilihatnya kilauan air di lereng bukit Marwa, dikejarnya namun ternyata tidak ada. Ia melihat pula di bukit Shafa ada air, didatangi lembah bukit tersebut ternyata tidak ada juga air di sana. Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwa hingga tujuh kali, meski sengatan matahari membakar wajahnya dan hamparan pasir membuat telapak kakinya bengkak.

Padahal dahulu, masa kecil dan remajanya di Mesir ia dapat menikmati air yang jernih dan segar, matahari yang cerah dan angin bertiup lembut. Setelah menikah dengan Ibrahim as di antara ladang dan kebun yang indah dihembus udara yang segar. Kini ia ditakdirkan mengalami derita kesendirian dan keterasingan. Ia dipaksa merasakan keganasan dan kegersangan hamparan sahara yang membentang luas.

Di tengah harap dan putus asa, ia kembali menemui bayinya. Ketika dekat dengan anaknya, ia terkejut. Tadi Ismail as. menangis kenapa sekarang tenang? Ia tersentak kaget bercampur bahagia melihat air yang mengalir di bawah kaki bayinya. Air itu muncul bekas hentakan kaki bayinya saat menangis. Siti Hajar as pun berucap “Zam Zam” “(Kumpullah) wahai air!” Ia pun mencidukkan air tersebut dengan tangannya dan memberi minum bayinya. Ia pun tak henti-hentinya memuji Allah swt. atas rahmat yang dianugerahkan kepadanya. (Diambil dari Mimbar Islam, 2011).

Mengambil I’tibar (Pelajaran) dari Siti Hajar as

Dari kisah singkat mengenai apa yang dirasakan Siti Hajar as, adalah layak untuk kaum muslimah untuk meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Hemat penulis, ada 3 (tiga) perilaku Siti Hajar as yang layak ditiru.

Pertama, taat kepada Allah. Siti Hajar as sangat taat kepada Allah. Ketika ia tahu diminta untuk tinggal di lembah yang sangat gersang, ia tidak protes. Ia tahu bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Allah tidak akan menelantarkannya di daerah tersebut, meski suku Amaliqah tidak tinggal di daerah tersebut. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita, wahai kaum muslimah, taat kepada Allah Swt? Bila kita sudah menikah, apakah kaum muslimah sudah menjalankan tugas kita sebagai isteri yang baik, yang merupakan wujud ketaatan kita kepada Allah Swt?

Pertanyaan yang penulis ajukan bukanlah untuk menggurui, apalagi penulis secara kebetulan seorang laki-laki, namun hanya untuk mengajak merenung bersama. Taatlah kepada suami apapun bentuknya, jika masih berada di batas Syar’i. Jangan pikirkan apa yang diperbuatnya terhadap kita, tapi pikirkanlah apa yang telah diberikan Allah dengan ditakdirkannya menikah dengan diri kita.

Untuk yang belum menikah, jangan pikirkan hal-hal buruk yang dialami, tapi pikirkan betapa Allah sangat sayang dengan diri ini hingga detik ini Allah menjaga kita dari laki-laki yang tak pantas untuk dijadikan pendamping hidup. Yakinlah Allah tak pernah menyia-nyiakan kehidupan di dunia ini. Yang penting, percayalah kepada Allah dan senantiasa taat kepada-Nya.

Kedua, sabar dalam berjuang. Lihatlah kehidupan Siti Hajar. Meski ia ditinggal suaminya, ia tetap berjuang untuk mencari makan dan minum anaknya. Meski hampir putus asa, namun ia tetap memiliki keyakinan, bahwa Allah swt. akan menolongnya. Inilah yang perlu ditiru. Meski suami sedang memiliki rezeki yang ‘seret’ umpamana, janganlah berubah pandangan terhadapnya. Jangan pernah mencacinya.

Penderitaan yang mungkin dialami, belum seberapa bila dibandingkan penderitaan Siti Hajar as. Karena itu, tetaplah mengasuh anak dengan baik seperti apa yang dilakukan Siti Hajar as. Yakinkan diri! Bahwa Allah akan memberi rezeki. Allah tak akan membiarkan hambanya menderita.

Ketiga, tawakkal dan bersyukur setelah berusaha. Setelah taat kepada Allah dan sabar dalam berjuang, maka yang mesti dilakukan adalah tawakkal dan bersyukur. Lihatlah apa yang dilakukan Siti Hajar! Setelah ia lelah ke sana kemari, mondar-mandir dari Shafa ke Marwah tujuh kali, ia berserah diri (tawakkal) kepada Allah. Ia pun mendekati anaknya dan yakin Allah akan menolongnya. Tawakkal-nya berbuah manis. Ia melihat air di kaki anaknya, Ismail. Ia pun tak lupa bersyukur kepada Allah.

Insya Allah, jika ketiga hal tadi dapat dilakukan oleh kaum muslimah, betapa banyak akan lahir Generasi Muslim sebagai “qurrota a’yun” (penyejuk jiwa), dan menjadi “imam” (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Allahu a’lam.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *