Makna Diam yang Sesungguhnya
Kita yang hakikatnya adalah manusia sosial pastinya memiliki lingkungan,keluarga dan teman disekitar kita. Pastinya akan terjadi suatu interaksi antara sesama diantaranya adalah percakapan atau pembicaraan. Diantara beberapa orang dan tentunya tidak semua percakapan atau pembicaraan tersebut memiliki manfa`at ataupun madharat yang ditimbulkan. Tetapi jika kita kalkulasikan antara manfaa`at dan madharat bisa kita prediksi kemungkinan besar biasanya lebih banyak hal yang seharusnya tidak perlu dibicarakan. Disitulah akan muncul sesuatu yang dapat menyebabkan dan menjerumuskan kedalam dosa. Seperti : ghibah, menjelekkan, membuka aib atau bahkan sampai menghina kepada yang lainnya. Membuka aib orang lain, apalagi sesama Muslim, sama seperti membuka aib sendiri. Sebab, seorang Muslim terhadap Muslim yang lain ibarat satu tubuh. Jika ada satu bagian tubuh yang sakit, bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit juga. Tak cuma itu, jika kita gemar membuka aib orang lain, aib diri sendiri, cepat atau lambat, akan terbuka juga.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Barzah Al Aslami mengatakan, ”…. Jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena, barangsiapa yang mencari-cari noda kaum Mukminin, Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya.” Na’udzubillahi min dzalika, semoga kita terhindar dari perbuatan demikian.
Cara agar kita terhindar dari itu semua pastinya adalah dengan cara DIAM dari pada kita berbicara yang tak ada gunanya. Seperti dalam hadis nabi Muhammad SAW.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.
(HR Bukhari Muslim)
Dalam keterangan hadis tersebut ada tiga hal penting yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam hadis yang teramat mulia ini. Pertama, keharusan menjaga lisan. Kedua, keharusan menghormati tetangga. Dan ketiga, keharusan memuliakan tamu.
Imam Al-Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid juga mengatakan bahwa berkata baik atau diam termasuk satu dari empat etika kebaikan yang sangat utama dalam Islam, selain meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat, menahan marah, dan mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.
Dan juga dalam Kitab Nasaihul Ibad, Syaikh Nawawi al-Bantani mencantumkan sabda Nabi Saw.,
الصلا ة عما دالدين والصمت افضل , والصدقة تطفىء غضب الرب والصمت افضل , والصوم جنة من النار والصمت افضل , والجهادسنا م الدين والصمت افضل
“Salat itu tiang agama, sedangkan diam itu lebih utama; sedekah itu dapat memadamkan murka Allah, sedangkan diam itu lebih utama; puasa itu benteng neraka, sedangkan diam itu lebih utama; dan jihad itu adalah puncak agama, sedangkan diam itu lebih utama.”
Agama tidak akan berdiri tanpa sholat, seperti tidak akan berdiri sebuah rumah tanpa disertai tiang-tiangnya. Shalat merupakan pernyataan sebenarnya dari sifat kehambaan dan memenuhi hak ketuhanan. Sedang seluruh ibadah itu justru merupakan sarana menuju substansi pengabdian yang sebenarya tersebut. Tentang diam lebih utama dari pada shalat, dapat didasarkan pada sabda Nabi SAW.:
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda:
الصمت أرفع العبادة
“Diam adalah bentuk ibadah yang paling tinggi.” (HR. Ad-Dailami)
Maksud diam di sini adalah diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia, dan diam dari membalas omongan orang yang mencemooh kita.
Nah, diam yang seperti ini termasuk ibadah yang paling tinggi, sebab kebanyakan kesalahan itu timbul dari lisan. Adapun jika seseorang diam karena dia sendirian tanpa adanya orang lain yang memotivasinya untuk diam, maka diamnya bukan ibadah.
Rasulullah SAW juga bersabda :
الصَّمْتُ زَيْنٌ لِلْعَالِمِ وَ سِتْرٌ لِلْجَاهِلِ
“Diam itu adalah perasaan bagi orang ‘Alim dan selimut bagi orang bodoh.” (HR. Abu Syaikh, dari Muharriz)
Maksudnya adalah diam dapat menambah kewibawaan yang hal ini pertanda adanya ilmu. Sesungguhnya orang yang bodoh itu tidak akan diketahui kebodohannya , jika ia tidak berbicara. Nabi Muhammad SAW bersabda :
الصَّمْتُ سَيِّدُ الْأَخْلَاقِ
“Diam itu adalah akhlak yang paling utama.”
الصَّمْتُ حِكَمٌ وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ
“Diam itu mengandung hikmah yang banyak, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Qadha’I, dari Anas dan Dailami, dari Ibnu ‘Umar)
Dari keterangan-keterangan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa hakikat diam dari sesuatu yang tidak ada guna dan dari sesuatu yang tidak ada manfa`atnya adalah pimpinan akhlak mulia. Karena menyelamatkan pelakunya dari ghibah, membuka aib lainnya,serta dapat mencegah saling menghina diantara sesama manusia. Diam adalah hikmah tetapi mengapa masih tidak banyak yang melakukannya dan masih belum banyak yang mengetahui makna diam tersebut (diam dari pada berbicara yang tak ada gunanya) . Maka mari kita semua saling menjaga diri kita,teman kita, keluarga kita,masyarakat kita dari permusuhan, saling menghina yang biasanya timbul akibat perantara bicara yang tidak ada gunanya. Khususnya kepada penulis dan umumnya kepada kita semua.
Wallahu A`lam. Semoga bermanfa`at
Penulis : Muhammad Chabib Fazal Jinan
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Institut Kyai Haji Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto