Sholat Jumat Kurang dari Empat Puluh Orang, Bolehkah?
Oleh : Mukhammad Nur Hidayatulloh
Perkembangan peradaban yang begitu pesat menuntut perubahan dan penyesuain dari banyak aspek kehidupan, mulai dari sistem sosial, nilai-nilai norma, budaya, politik, hingga aspek keagamaan. Aspek keagamaan yang tidak luput dari perubahan semacam ini adalah produk hukum fiqh. Produk hukum fiqh akan terus berkembang sesuai tempat dan zamannya agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar relevan dan sesuai dengan al Maqashid asy Syariah.
Sejarah mencatat banyak sekali produk hukum fiqh yang mengalami perubahan demi bisa menyesuaikan tempat dan zamannya. Kasus paling masyhur mengenai hal ini di kalangan Madzhab Syafiiah adalah adanya qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah fatwa hukum yang dikeluarkan oleh Imam Syafii ketika berada di Baghdad, sedangkan qaul jadid dihasilkan sebagai pembaruan dari fatwa sebelumnya, yaitu qaul qadim, yang dihasilkan ketika beliau berada di Mesir.
Adanya dua periode fatwa hukum ini kemudian memunculkan pertanyaan, mana yang seharusnya diamalkan. Para Fuqaha Syafiiah (Ashab Syafii) telah bersepakat bahwa ketika dalam sebuah permasalahan terdapat dua qaul, yaitu qaul qadim dan qaul jadid, maka beramallah dengan qaul jadid, dan bukan qaul qadim. Hal ini masuk akal karena qaul jadid keluar lebih akhir sebagai amandemen dan revisi dari qaul qadim.
Namun muncul lagi pertanyaan, apakah mendahulukan qaul jadid atas qaul qadim bersifat mutlak atau situasional. Kasus semacam ini ternyata pernah terjadi pada masa Sayyid Abu Bakar Syato’, ulama kenaaman di tanah Makkah. Beliau adalah guru dari Syekh Mahfudz Termas, yang darinya lahir banyak ulama tersohor di Nusantara, seperti Hadrotusy Syaikh Hasyim Asyari, Kiai Faqih Maskumambang (Guru dari Kiai Zubair), Kiai Baidowi Lasem, Syeikh Muhammad Baqir Al Jukjawi, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan banyak ulama yang lain.
Pada waktu itu datang sekelompok orang dari sebuah desa menanyakan perihal sholat jumat. Mereka datang dari desa yang penduduknya masih sedikit, sehingga untuk melaksanakan sholat jumat belum mencapai 40 orang. Kemudian mereka bertanya bolehkah mengamalkan qaul qadim yang menysaratkan untuk terlaksananya sholat jumat hanya dibutuhkan sekurang-kurangnya 4 orang, dan riwayat yang lain menyebutkan 12 orang.
Datangnya pertanyaan itu kemudian mengilhami Sayyid Abu Bakar Syato’ untuk menulis sebuah artikel pendek yang beliau beri nama Risalah Jumah. Tulisan tersebut terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas persoaalan kebolehan mendahulukan qaul qadim atas qaul jadid (dengan syarat-syarat tertentu), bagian kedua membahas syarat-syarat sholat jumah dilanjutkan pembahasan kebolehan mendidrikan dua sholat jumat (ta’addud al jumah)dalam satu wilayah, dan di bagian terakhir berisi tambahan berupa pembahasan mengenai beberapa amalan yang dianjurkan dilakukan setelah sholat jumat.
Bagian pertama, Sayyid Abu Bakar Syato’ memparkan tentang kewajiban sholat jumat ketika telah terkumpul syarat-syarat yang mewajibkannya. Salah satunya adalah telah sempurnanya jumlah 40 orang versi qaul jadid, sedangkan versi qaul qadim terdapat 2 pendapat, yang pertama mengatakan 4 orang dan yang kedua mengatakan 12 orang.
Sayyid Abu Bakar Syato, dalam hal ini, mengatakan boleh mengamalkan dua qaul qadim tersebut karena beberapa Ulama Syafi’iah (Ashab Syafii), seperti Imam As Suyuti lebih menggugulkan pendapat tersebut. Sedangkan kewajiban mutlak beramal dengan qaul jadid hanya berlaku ketika sama sekali tidak ada ulama yang menguggulkan (merajihkan) qaul qadim.
Keputusan ini diambil bukan tanpa alasan. Sayyid Abu Bakar Syato’ mendatangkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ad Daruqutni, dari Ummu Abdillah Ad Duwaisi berkata, Rosulullah SAW bersabda, “Sholat jumat itu wajib bagi penduduk sebuah desa walaupun di dalamnya tidak ada orang, kecuali empat atau dua belas orang.” Berdasarkan hadist ini dapat diambil kesimpulan bahwa sholat jumat wajid dilaksanakan ketika sekurang-kurangnya terdapat 4 atau 12 orang dalam suatu wilayah. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’ Syarh Muhadzab.
Bahkan Sayyid Abu Bakar Syato’ menuqil perkataan As Suyuti dan Jamaluddin al Habsyi yang mengatakan bahwa jauh lebih utama taqlid terhadap qaul qadim daripada harus berpindah kepada mazdhab yang lain (intiqal al madzhab). Hal ini mempertimbangkan taqlidnya Muqallid terhadap madzhab yang ditaklidi (al Madzhab al Muqallad) dalam hal wudhu, mandi (jinabah), menghilangkan najis, dan hal-hal lain yang diwajibkan dalam rangka pelaksanaan sholat. Sehingga tidak terjadi pencampuradukkan madzhab (talfiq al madzhab) dalam satu rangkaian ibadah yang mengakibatkan batalnya ibadah tersebut.
Di akhir bagian pertama Sayyid Abu Bakar Syato’ menegaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai jumlah minimal dalam pelaksanaan sholat jumat, yaitu 4 orang, 12 orang dan 40 orang. Maka bagi orang-orang yang tau mengenai hal ini, tidak diperbolehkan meninggalkan sholat jumat selama masih memungkinkan mengikuti salah satu dari tiga pendapat tersebut. Dan seandainya mushalli memilih taqlid terhadap qaul jadid —namun penduduk desa belum mencapai empat puluh orang— maka tetap dianjurkan melaksanankan sholat jumat dan disunnahkan melanjutkanya dengan mengulang sholat dhuhur (i’adah adz dzuhr) sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtilath).
Pada bagian kedua, Sayyid Abu Bakar Syato’ menjelaskan tentang syarat-syarat sholat jumat. Syarat ini dibagi menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Terdapat enam syarat wajib yang disebutkan oleh Sayyid Abu Bakar Syato’ yaitu, muslim, mukallaf, laki-laki, merdeka, muqim, dan tidak dalam keadaan udzur.
Adapun syarat sahnya sholat jumat juga enam. Pertama, khutbah dan sholat jumat dilakukan setelah masuk waktu dzuhur. Kedua, sholat jumat dilaksanakan di bangunan (tempat) yang biasa untuk berkumpul. Ketiga, sholat jumat dilaksanankan secara berjamaah pada rokaat yang pertama. Keempat, pelaksanaan sholat jumat dilakukan dengan minimal penduduk yang hadir berjumlah empat puluh orang yang islam, mukallaf, merdeka, laki-laki, dan berada di wilayah tempat orang tersebut tinggal (istithan). Kelima, mendahulukan dua khutbah atas sholat jumat. Dan yang keenam, tidak mendirikan dua sholat jumat dalam satu desa (wilayah).
Menurut madzhab Syafii dilarang mendirikan dua sholat jumat (ta’addud al jumah) dalam satu wilayah selama tidak ada hajat (kebutuhan) untuk melakukan itu. Seandainya ada hajat, seperti susahnya berkumpul (‘asr al ijtima’) dalam satu tempat, maka diperbolehkan mendirikan dua jamaah jumat (ta’addud al jumah).
Ada beberapa sebab yang mengakibatkan susahnya berkumpul (“asr al ijtima’). Pertama, karena banyaknya jumlah penduduk atau sempitnya tempat sehingga tempat yang biasa digunakan untuk sholat jumat tidak bisa menampung seluruh jamaah. Kedua, karena perasaan takut saat kondisi perang. Ketiga, karena jauhnya jarak, yang sekiranya penduduk daerah tersebut tidak mendengar suara adzan atau seandainya ia berangkat setelah fajar tetap tidak akan mendapati sholat jumat karena sudah terlambat.
Pada bagian terakhir sebagai penutup, Sayyid Abu Bakar Syato’ menyebutkan beberapa amalan yang dianjurkan dilakukan setelah sholat jumat. Pertama, disunnahkan membaca surah Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas, masing-masing tujuh kali. Pembacanya dijanjikan akan dihapuskan seluruh dosanya yang telah lampau dan yang akan datang. Hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik.
Kedua, dari sahabat Ibnu Mas’ud r.a., barang siapa membaca doa Allahuma yaa ghaniyyu yaa hamiidu yaa mubdi’u yaa mu’iidz yaa rohiimu yaa waduudu aghninii bi fadhlika ‘an man siwaaka wa bi halaalika ‘an ma’shiyatika,maka dia akan mendapat rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Hal ini juga pernah diucapkan oleh Abu Thalib Al Makki dengan readaksi yang sedikit berbeda.
Ketiga, disunnahkan membaca subhanallahi al ‘adzimi wa bi hamdihi seratus kali, maka akan dihapuskan seratus ribu dosa bagi pembacanya dan dua puluh empat ribu dosa bagi kedua orang tuanya.
Keempat, dianjurkan membaca syiir ilahii lastu, atau yang masyhur dikenal dengan syiir Abu Nawas, maka pembacanya akan diwafatkan dalam keadaan membawa islam, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abdul Wahab Asy Sya’rani.
Kelima, dianjurkan membaca doa Allahumma ajibtu da’wataka, wa shollaitu faridotaka, wantasyartu kama amartani, farzuqni min fadhlika wa anta khoirun razikin. Dilanjutkan membaca Q.S Al Jumuah ayat 9. Doa tersebut dibaca di pintu masjid.
Dan yang keenam, dianjurkan membaca sholawat as sa’adah seratus kali agar diberi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Perlu kita ingat bersama bahwa keenam amalan di atas masih istiqamah di amalkan di surau-surau pedesaan. Ini juga menjadi sangat dibutuhkan, mengingat kemunculan kelompok islam garis kerak yang sering mengklaim bidah terhadap amalan-amalan kelompok islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Sumber: Risalah Jum`At Sayyid Abu Bakar Syata`
Mojokerto, 27 Januari 2021