Pandangan Ki Hadjar Dewantara Mengenai Kedisiplinan dan Hukuman bagi Siswa
Oleh Edi Subkhan*
Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh pendidikan nasional yang sejak awal ia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922 sangat menentang sistem pendidikan Belanda. Tidak hanya karena pendidikan formal di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda merugikan rakyat dan menguntungkan pemerintah kolonial dan kapitalis, melainkan juga karena karakter dasar pendidikan Barat (baca: Hindia Belanda) tersebut tidak sesuai dengan nilai dasar alamiah yang diyakini oleh Ki Hadjar sendiri.
Dalam kumpulan karyanya yang sudah masyhur, pada judul “Pengajaran Nasional” Ki Hadjar menulis mengenai bagaimanakah pendidikan Barat itu sebagai berikut.
Akan dasar-dasarnya saja, di situlah sudah terdapat hal-hal yang ganjil. Adapun dasar-dasarnya pendidikan Barat itu, yakni: regering, tucht, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Terutama dalam prakteknya maka didikan yang sedemikian itu lalu berlaku sebagai pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Apa yang jadi buahnya? Anak-anak rusak budi pekertinya, disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang biasanya tiada setimpal dengan kesalahannya. Kalau menjadi orangtua, ia tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah. Kalau kita meniru saja cara yang semacam itu, tiadalah kita akan bisa membentuk orang yang punya kepribadian. (Ki Hadjar Dewantara, 2004 [1930]: 13)
Kutipan panjang di atas menunjukkan bahwa Ki Hadjar jelas-jelas tidak sepakat dengan praktik pendidikan yang mengedepankan pemaksaan dan hukuman. Ia mewanti-wanti bahwa praktik pendidikan semacam itu akan membuahkan orang-orang yang tidak punya kesadaran untuk berbuat sesuatu secara sadar dan mandiri, hal itu karena sejak dini mereka dibiasakan untuk berbuat atau melakukan sesuai jika diperintah dan dihukum.
Dalam upaya untuk membangun kepribadian (istilah yang dipopulerkan oleh rezim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [Kemdikbud] sekarang adalah “karakter”) pendidikan yang berdasarkan perintah dan hukuman tentu bukanlah yang utama, atau bahkan mestinya dihindari. Dengan demikian Ki Hadjar tidak sepakat dengan teori pembelajaran Behavioristik untuk membangun kepribadian, tidak juga sepakat dengan kekerasan dalam pendidikan yang mewujud dalam perintah-perintah, hukuman, dan aturan/ketertiban yang membelenggu.
Apa yang dikemukakan oleh Ki Hadjar sebagai “pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak” di sisi lain adalah sama dan sebangun dengan konsep kekerasan simbolik (symbolic violence) yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu (paparan bagus sekaligus praktik analisis mengenai kekerasan simbolik Bourdieu berbahasa Indonesia diulas oleh Nanang Martono, 2012). Kekerasan jenis ini seringkali tidak dianggap sebagai kekerasan karena sudah dianggap sebagai kelaziman dan kewajaran sosial kolektif masyarakat.
Kekerasan simbolik kerap terjadi ketika mekanisme pembelajaran demokratis dan partisipatoris ditinggalkan, hingga tidak ada dialog dan negosiasi dalam menentukan apa yang akan dipelajari dan dengan cara bagaimana. Kekerasan simbolik wujudnya dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai, budaya, perilaku, peraturan, utang, dan lainnya yang menyebabkan satu pihak menerima hal-hal tersebut bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan lebih karena “dipaksa secara tidak sadar”.
Lalu kalau tidak tanpa paksaan dan kekerasan, pendidikan bagaimanakah yang diarahkan oleh Ki Hadjar? Ia melanjutkan:
Pendidikan kita tidak memakai syarat paksaan. Lebih tegas lagi apabila kita mengetahui, bahwa sesungguhnya perkataan ‘opvoeding’ atau ‘paedagogiek’ itu tiadalah dapat diterjemahkan dengan bahasa kita. Panggulawentah (Jawa) itu bukan memberi pengertian ‘opvoeding’, sebab panggulowentah itu hanya pekerjaannya si dukun bayi. Yang hampir semaksud yaitu perkataan kita: Momong, among, dan ngemong.
Itulah yang kita pakai sebagai dasar pendidikan kita. Caranya tiadalah kita memaksa; walaupun hanya sekadar memimpin kadang-kadang juga tidak perlu. Kita hanya diharuskan mencampuri kehidupan si anak kalau sudah ternyata si anak ada di atas jalan yang salah.
Kita tiada memakai dasar ‘regering, tucht en orde’ tetapi ‘orde en vrede’ (tertib dan damai, tata-tentrem). Kita akan selalu menjaga atas kelangsungan kehidupan batin sang anak, dan haruslah ia dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Tetapi kitapun tiada akan ‘nguja’ (membiarkan) anak-anak. Kita hanya harus mengamat-amati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat.
‘Tucht’ (hukuman) itu maksudnya buat mencegah hukuman. Dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah tersedia. Misalnya: Barangsiapa datang lambat tentu akan dapat hukuman berdiri di muka kelas.
Hukuman semacam itu pertama adalah tiada setimpal dengan kesalahannya. Kedua: tiaptiap aturan yang mendahului kenyataan, itulah bertentangan dengan sifatnya roch manusia, yang tiada dapat dimasukkan dalam peraturan. Tanda buktinya: untuk mengatur ketertiban pergaulan hidup kita, sudah ada macam-macam dan ribuan peraturan. Tetapi setiap hari orang pun masih selalu membuat aturan baru. Itulah tandanya setiap peraturan tiada akan bisa sempurna.
‘Orde’ (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan Barat teranglah sudah hanya paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan kita menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat pemaksaan. Dan oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tiada akan terdapat.
Semua itu adalah syarat-syarat kita hendak berusaha mendatangkan rakyat yang merdeka, dalam arti yang sebenar-benarnya. Yaitu: lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan…dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri. (Ki Hadjar Dewantara, 2004 [1930]: 13-14)
Dalam kutipan panjang di atas saya tuliskan ulang apa kata Ki Hadjar Dewantara mengenai konsep pendidikan ideal yang tidak berdasarkan pada paksaan dan kekerasan, yaitu: bahwa pendidikan ia pandang sebagai aktivitas natural manusia dalam merawat manusia, sebagaimana seorang dukun bayi dan orangtua Jawa mengasuh anak-anaknya melalui aktivitas momong, among, atau ngemong. Jadi, seorang guru/dosen mestilah berlaku sebagai orangtua, sahabat, dan kakak yang dapat “mengasuh” atau ngemong anak didiknya dengan dasar kasih sayang, bukan paksaan dan kekerasan.
Walau begitu bukan berarti pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara adalah membiarkan murid/siswa begitu saja, melainkan memperhatikan dengan cermat dan intensif perkembangan murid-murid, jika mengarah pada hal-hal yang tidak baik maka di situlah guru perlu melakukan intervensi sebagaimana familiar dikemas juga dalam tiga prinsip kepemimpinan guru atau pamong di Taman Siswa, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Konsep lama yang dikemukakan oleh KI Hadjar Dewantara tersebut relatif sama dengan konsep guru sebagai fasilitator belajar murid-murid yang sedang tren sekarang ini.
Ki Hadjar dalam alternatifnya atas pendidikan yang mengedepankan paksaan dan kekerasan adalah mengacu pada konsep dan nilai Jawa tradisional, yaitu tertib dan damai, atau toto tentrem (orde en vrede). Tertib dan damai atau toto tentrem adalah konsep Jawa yang kira-kira dapat dipahami sebagai ketertiban hidup dan perilaku yang dipandu dan mengarah pada harmoni kehidupan, bukan tertib yang mengekang hidup dan potensi murid-murid, melainkan tertib yang mengarah pada “kedamaian”.
Nah, “kedamaian” ini adalah konsep dan nilai Jawa tradisional yang diambil oleh Ki Hadjar sebagai salah satu basis konsep dan praksis pendidikan di Perguruan Taman Siswa. orang-orang Jawa tradisional hampir selalu menempatkan “damai” sebagai nilai tertinggi yang mesti dicapai ketimbang konflik dan sejenisnya, untuk dapat “damai” maka negosiasi mesti menjadi prasyaratnya sebagaimana ungkapan Jawa lainnya, yaitu “nek ono rembug yo dirembug,” kalau ada masalah yang dibicarakan baik-baik, didiskusikan atau dinegosiasikan antara satu pihak dan lainnya. Di sinilah negosiasi terjadi, demokrasi tumbuh, namun bukan demokrasi liberal, melainkan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusawaratan.
Secara tidak langsung konsep-konsep yang dikemukakan oleh Ki Hadjar tersebut sama dan sebangun dengan konsep-konsep pedagogi kritis yang memandang penting gagasan dan praksis pendidikan tersebut mesti humanis, demokratis, dialogis, partisipatoris, nir-kekerasan, tanpa diskriminasi, anti-eksploitasi, dan juga menolak pembodohan. Konsep dasar Ki Hadjar tersebut dengan kata lain adalah juga mengatasi praktik pendidikan yang mengedepankan paksaan dan kekerasan (walau dalam arti kekerasan simbolik sekalipun). Ini yang saya sebut sebagai “jalan kultural” dalam meminimalisasi praktik kekerasan dalam pendidikan.
Jika kita ulas lebih jauh, maka tampak bahwa Ki Hadjar Dewantara juga tidak terlalu sepakat dengan metode belajar reward and punishment atau dengan hadiah dan hukuman. Hal itu oleh karena—sebagaimana Ki Hadjar kemukakan dalam kutipan di atas—bahwa jika sejak dini murid-murid dibiasakan untuk melakukan sesuatu melalu cara diperintah atau bahkan diiming-imingi dengan hadiah dan diancam dengan hukuman, maka kelak di kemudian hari mereka akan menjadi orang-orang “dewasa” yang tidak punya kesadaran dan kemandirian dalam berbuat atau melakukan suatu hal.
Mereka akan menjadi pribadi yang minim kreativitas dan daya kritis, lebih dari itu akan menjadi bagian dari para pekerja patuh yang hanya bekerja sesuai dengan job desc yang diberikan pada mereka dan hanya akan melakukan sesuatu jika ada dan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak/juknis) yang sudah ada. Hal tersebut terjadi sebagai buah dari praktik pembelajaran yang sangat Behavioristik dengan logika stimulus—respon (S—R) untuk mengasah intelektualitas dan dimensi afektif. Ketika metode pembelajaran, lingkungan belajar, dan manajemen sebuah sekolah dikelola dengan mengedepankan reward and punishment atau paksaan dan kekerasan, maka ia tiap hari dibiasakan untuk melakukan sesuatu dalam kungkungan reward and punishment atau paksaan dan kekerasan.
Lalu bagaimana jika mendapati murid-murid yang nakal? Jika mengacu pada konsep Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah adalah organisasi keluarga ada Bapak dan Ibu guru, kakak dan adik kelas, maka semua hal mesti dibicarakan baik-baik, dirembug, dimusyawarahkan, didialogkan, didiskusikan, dan dicari jalan keluarga bagaimana. Denga kata lain mesti demokratis dan berdasarkan pada rasionalitas, bukan otoritas yang otoriter. Tentu saja jalan keluarnya adalah yang mendidik (edukatif), bukan menghukum yang tidak ada hubungannya dengan upaya mendidik murid-murid.
Tugas-tugas tertentu dapat diberikan sebagai upaya untuk memperbaiki sikap murid-murid yang nakal di sekolah, tugas-tugas tersebut dapat didasarkan dan kaitkan dengan tujuan pembelajaran yang terdapat pada matapelajaran dan lainnya. Arah edukatif akan lebih tepat jika didorong untuk mengasah dimensi afektif murid-murid karena memang perilaku nakal kaitannya adalah dengan dimensi afektif.
* Edi Subkhan, pengajar pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIP UNNES