Hubungan seks suami dengan isteri yang sudah suci dari haid, namun belum mandi?
KAJIAN FIQH
Ada seorang teman bertanya kepada saya kebetulan dia pengantin baru (tidak saya sebut namanya):
“Bagaimana hukum berhubungan seks dengan istri yang sudah suci dari haid tetapi belum mandi?”
Pertanyaan tersebut menarik, sebab tidak semua orang berani bertanya disebabkan rasa malu, mungkin dianggap porno. Tetapi sesungguhnya segala hal yang menyangkut ibadah termasuk hubungan suami isteri, jika tidak tahu sebaiknya ditanyakan kepada ahlinya agar hubungan keduanya benar-benar dilandasi oleh ilmu agama yang memadai dan bernilai ibadah.
Menurut Ibnu Rusyd, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dalam kitabnya yang sangat masyhur Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, sekurang-kurangnya ada 3 pendapat, yaitu:
Pertama: Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Jumhur Ulama menyatakan bahwa tidak boleh berhubungan seksual dengan istri sebelum ia mandi besar.
Kedua: Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya (أصحابه) berpendapat, boleh berhubungan seksual dengan istri selesai haid sebelum ia mandi besar terlebih dahulu, yang penting suci dari haid pada saat maksimal masa haid. Menurut Abu Hanifah, masa maksimal haid adalah sepuluh hari.
Ketiga: menurut Imam al-Auza’i dan Abu Muhammad bin Hazm, boleh berhubungan seksual dengan istri yang selesai haid sebelum ia mandi besar, yang penting vagina dibersihkan dengan air. Jadi, tidak harus mandi besar terlebih dahulu.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan variasi pemahaman mereka terhadap Q.S. Al-Baqarah : 222 sebagai berikut:
ويسـلونك عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء فى المحيض ولا تقربوهُن حتى يطهرن فاذا تطهرن فأْتوهن من حيث امركم الله انَّ الله يحب التوابين ويحب المتطهريْن
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri”.(QS. Al-Baqarah: 222).
Ulama berbeda pendapat mengenai makna redaksi:
ولا تقربوهن حتى يطهرن فاذا تطهرن
فأتوهن من حيث امركم الله
tepatnya pada kata تطهرن Dalam konteks ini, lafadz tersebut memiliki tiga kemungkinan makna, yaitu suci dari haid (masa haid sudah habis), bersuci dengan menyiram air ke seluruh tubuh alias mandi besar, dan membersihkan kemaluan dengan air.
Jumhur mayoritas ulama cenderung berpendapat harus mandi besar terlebih dahulu sebab kata تطهر dalam susunan فإذا تطهرن lebih mungkin dimaknai sebagai upaya manusia untuk membersihkan dirinya daripada dimaknai dengan suci dari haid yang bersifat natural.
Apabila mengikuti kecenderungan ini, mau tidak mau, kata طهر dalam lafadz حتى يطهرن juga bermakna mandi besar.
Sedangkan Abu Hanifah dan para pengikutnya cenderung memaknai حتى يطهرن dengan sampai terputusnya darah haid. Sehingga makna dari kalimat:
فاذا تطهرن فأتوهن من حيث امركم الله
adalah “apabila mereka
telah selesai/ terputus darah haidnya, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu”.
Di akhir pembahasan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dalam masalah ini, para ulama yang berbeda pendapat sama-sama benar. Akan tetapi, ia menilai bahwa pendapat Abu Hanifah yang masih mempertimbangkan masa maksimal haid adalah lemah.
Sebagai refleksi dari pembahasan di atas, Islam selain mewajibkan hubungan seksual yang sah, juga mendorong hubungan seksual yang sehat. Maka dari itu, kepada setiap pasangan, seyogyanya tidak hanya memperhatikan aspek keabsahan, tetapi juga melihat aspek kesehatan dalam hubungan seksual. Allahu ‘a’lam bis shawab.
المصدر :
إختلفوا في وطء الحائض في طهرها وقبل الإغتسال، فذهب مالك والشافعي والجمهور إلى أن ذلك لا يجوز حتى تغتسل، وذهب أبو حنيفة وأصحابه إلى أن ذلك جائز إذا طهرت لأكثر أمد الحيض وهو عنده عشرة أيام، وذهب ألأوزاعي الى أنها إن غسلت فرجها بالماء جاز وطئها، أعني كل حائض طهرت متى طهرت، وبه قال أبو محمد بن حزم… الى أخر هذه المقالة…
كتاب بداية المجتهد ونهاية المقتصد للإمام القاضي أبوالوليد محمد بن أحمد بن محمد بن أحمد بن رشدالقرطبي الأندلسي، صحيفة:٤١-٤٢.