Solusi Belajar Siswa Milenial
Oleh: Usman Roin *
BELAJAR-di era digital tentu menghadirkan tantangan tersendiri bagi siswa milenial. Satu sisi teks book pembelajaran harus dikuasai, sisi yang lain digitalisasi seakan-akan menjadi “nafas” kedua setelah ruh kehidupan. Gambaran nyata bisa dilihat, aktivitas bangun tidur yang lebih utama dicari adalah perangkat digital (gawai) guna mengetahui berbagai informasi atau sekedar lelucon belaka. Bukan buku yang dibuka, melainkan budaya membuka pesan yang sudah lama menjadi keluhan banyak orang (termasuk orang tua).
Hadirnya teknologi dan informasi satu sisi membuka keran informasi yang jauh masuk ke ruang privat. Sebaliknya informasi privat kita juga bisa diakses oleh yang jauh. Jadi, simalakama digital tentu patut menjadi perhatian bersama para milenialis. Kenapa, karena sudah mulai ada indikasi terjadi penurunan semangat belajar mereka. Jika demikian adanya, mencari cara yang terbaik agar belajarnya para siswa menjadi konsisten patut menjadi renungan bersama.
Hal itu bisa dimulai dari keluarga. Keluarga sebagai elemen fundamental pendidikan perlu berintrospeksi diri. Sudah seberapa intens komunitas belajar ditingkat keluarga itu terwujud? Atau justru malah nihil sama sekali! Adanya pertanyaan ini diajukan bukan serta merta tanpa tujuan. Melainkan lebih dari itu ingin memotivasi para keluarga untuk ikut menampakkan perilaku belajar pada ranah keluarga hingga ending-nya anak secara mandiri melakukan aktifitas yang serupa.
Untuk bisa mewujudkan kemandirian belajar anak, maka kebiasaan belajar pada komponen keluarga harus diwujudkan terlebih dahulu. Artinya ayah, ibu, kakak dan semua komponen keluarga bersama-sama melakukan aktifitas belajar. Hal ini sebagaimana dikatakan Mulyasa (2014:9), jika kebiasaan ingin menjadi karakter maka penciptaan lingkungan (belajar) adalah sebuah keniscayaan. Kendalanya adalah, peran orang tua untuk menciptakan lingkungan belajar intern kalah oleh kebutuhan dunia kerja hingga untuk meluangkan belajar bersama seakan-akan zero time realitanya.
Jalan tengahnya bagi penulis, meminta kepada anggota keluarga yang punya waktu longgar untuk terlebih dahulu menciptakan ruang belajar ditingkat keluarga adalah hal yang perlu dilakukan. Adapun yang masih bekerja, komunikasi jarak jauh yang meminta anak untuk belajar terlebih dahulu adalah langkah berikut yang perlu dilakukan. Tujuannya adalah menyampaikan pesan bahwa ia (orang tua) juga akan belajar setelah menuntaskan pekerjaan. Intinya, jadwal belajar bersama haruslah dibuat untuk kemudian dipublis ke medsos hingga menumbuhkan memotivasi belajar menjadi habit.
Guru juga harus belajar
Pada tingkat sekolah, agar anak termotivasi belajar guru perlu merubah pembelajarannya sebagai hasil belajar agar anak tidak merasa jemu. Guna mewujudkan hal itu, maka guru perlu mempersiapkan bahan ajar serta pengembangan materi pendukung secara baik dengan banyak belajar pula. Ini artinya, iklim belajar secara personal (sebagai guru) juga diwujudkan. Sehingga proses transfer of knowledge menyenangkan (fun), tidak membosankan, melainkan menggugah siswa dengan seksama menikmati aktivitas pembelajaran hingga terangsang untuk belajar secara mandiri. Jika pembelajaran guru tidak berubah (konvensional) penulis kurang yakin bahwa kemandirian belajar siswa selamanya tidak akan pernah terwujud menjadi karakter.
Adapun ditingkat masyarakat, aktivitas belajar juga bisa diciptakan ruangnya. Lalu, siapa yang mempersiapkan? Setiap keluarga yang menjadi anggota masyarakat perlu ikut mendukung proses belajar. Tujuannya, agar tidak terjadi ruang hampa proses kelanjutan belajar pasca keluarga dan sekolah. Bisa melalui sarana tempat ibadah (masjid, musala), majelis taklim, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) atau melalui pagelaran local wisdom yang bisa digunakan perantara tumbuhnya pembelajaran secara kontinu.
Perwujudan adanya masyarakat pembelajar mempunyai fungsi agar tidak terjadi alienasi. Yakni, belajar kalau dilakukan sendiri terasa berat, seakan terkucilkan ditengah orang lain dengan santai dan enaknya seperti tidak membutuhkan pengetahuan sebagai hasil belajar. Tetapi bila dilakukan secara masif (keluarga, sekolah dan masyarakat) akan ada ikatan kuat bahwa prilaku belajar itu ternyata dilakukan siapapun.
Alhasil, persepsi belajar dengan aneka aktivitas yang dilakukan justru membuka kekayaan pengetahuan yang kontekstual dan tidak konvensional. Terlebih jika berbagai genre usia terlihat aktivitasnya belajar, tentu makna yang tersirat bahwa tanggung jawab belajar itu adalah kewajiban sepanjang hayat. Jadi, semangat kemandirian untuk tetap belajar akan bertranformasi kepada generasi berikutnya sebagai penerus estafet kepemimpinan masa depan.
Akhirnya, tentu kita tidak ingin generasi mendatang buta pengetahuan akibat nihilnya belajar. Maka, bangunan karakter pembelajaran itu perlu dipupuk oleh segenap komponen (keluarga, sekolah dan masyarakat) sebagai satu paket bahwa restorasi belajar secara masif itu mutlak dilakukan. Semoga!
* Usman Roin, Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah & Guru Ekskul Jurnalistik SMP IT PAPB Semarang.
** Sudah dimuat di koran Tribun Jateng, Selasa (16/4/2019)